BAHAYA
GLOBALISASI NEOLIBERAL BAGI NEGARA-NEGARA MISKIN
Oleh : Revrisond
Baswir
Pendahuluan
Globalisasi adalah sebuah
konsep berwajah banyak. Selain memiliki wajah geopolitik dan teknologi, ia juga
memiliki wajah ekonomi dan budaya. Sepintas lalu, terutama bila dilihat dari
sudut geopolitik dan teknologi, globalisasi tampak sangat masuk akal.
Sedangkan berkat kemajuan
teknologi, terutama teknologi komunikasi, kendala ruang dan waktu kini relatif
sudah bukan merupakan hambatan yang terlalu besar bagi umat manusia.
Persoalan muncul ketika
globalisasi dilihat dari sudut ekonomi dan budaya. Secara ekonomi, walaupun
globalisasi menjanjikan percepatan pertumbuhan ekonomi, pertanyaan mengenai
siapa, mendapat apa, dan berapa banyak, serta-merta menyentakkan kita dari
kekaguman yang berlebihan terhadap manfaat globalisasi. Globalisasi tampak
seolah-olah merupakan jalan bebas hambatan bagi mereka untuk menguasai ekonomi
dunia.
Dilihat dari sudut budaya,
genomena dominasi ekonomi segelintir kaum berpunya tersebut tentu memiliki
dampak yang sangat serius terhadap perkembangan kebudayaan di negara-negara dan
masyarakat miskin di seluruh dunia.
Dengan demikia, bila dikaji
secara cermat dan mendalam, secara ekonomi dan budaya, globalisasi tidak dapat
begitu saja dipandang sebagai sebuah gejala alamiah yang netral. Ia sarat
dengan kepentingan dan muslihat, khususnya yang mendatangkan keuntungan bagi
para pemodal yang berasal dari negara-negara kaya tertentu.
Globalisasi
dan Negara-negara Miskin
Dengan memahami globalisasi
ekonomi sebagai pelaksana agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana
dipaparkan tersebut, bahaya atau dampak negatif globalisasi bagi negara-negara
miskin menjadi mudah untuk dipetakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa
globalisasi pada dasarnya adalah sebuah proses sistematis untuk merombak
struktur perekonomian negara-negara miskin, terutama dalam bentuk pengerdilan
peranan negara dan peningkatan peranan
pasar, sehingga memudahkan dilakukannya pengintegrasian dan pengendalian
perekonomian negara-negara miskin tersebut di bawah penguasaan para pemodal
yang berasal dari negara-negara kaya.
Dari pengertian umum
tersebut, dapat disaksikan bahwa bahaya atau dampak negatif globalisasi bagi
negara-negara miskin pada dasarnya terletak pada melemahnya kemampuan sebuah
pemerintahan melindungi kepentingan negara dan rakyatnya, serta meningkatnya
ketergantungan perekonomian negara-negara miskin tersebut terhadap pemenuhan
kepentingan para pemodal international yang berasal dari negara-negara kaya
tertentu. Dalam ungkapan teori ketergantungan, sebagai akibat dari globalisasi,
maka perekonomian negara-negara miskin cenderung menjadi wilayah pinggiran bagi
perekonomian negara-negara kaya yang berada di pusat.
Akibat meningkatnya
ketergantungan ekonomi negara-negara miskin terhadap pemenuhan kepentingan para
pemodal negara-negara kaya, maka peranan pemerintah dalam perekonomian
negara-negara miskin cenderung berubah, yaitu dari melayani dan melindungi
kepentingan rakyat menjadi melayani dan melindungi kepentingan para pemodal
internasional yang ingin atau telah menanamkan modal mereka di negara-negara
miskin yang bersangkutan. Pada tingkat yang lebih ekstrim, kebijakan ekonomi
pemerintah negara-negara miskin justru secara terang-terangan mengambil posisi
berlawanan dengan aspirasi dan kepentingan rakyat mereka sendiri.
Secara spesifik, bahaya atau
dampak negatif globalisasi bagi negara-negara miskin dapat dipetakan dengan
menguraikan bahaya atau dampak negatif pelaksanaan keempat agenda ekonomi
neoliberal sebagaimana yang dikemukakan tadi :bahaya pengahapusan subsidi, bahaya
liberalisasi sektor keuangan, bahaya liberalisasi perdagangan, dan bahaya
privatisasi BUMN. Sebagaimana diuraikan dibawah ini, pelaksanaan keempat agenda
ekonomi neoliberal tersebut hampir sepenuhnya didominasi oleh upaya untuk
meningkatkan efisiensi. Sebaliknya, peningkatan keadilan ekonomi (equality),
secara mikro, domestik, daninteransional, cenderung diabaikan.
Intinya, sebagai unsur dari
agenda liberalisasi ekonomi yang bersifat menyeluruh, tujan akhir liberalisasi
keuangan adalah untuk mempercepat integrasi perekonomian negara-negara sedang
berkembang ke dalam sistem perekonomian pasar global berdasarkan kapitalisme. Dengan
cakupan dan tujuan yang sangat mendasar tersebut, munculnya bahaya yang sangat
besar di balik pelaksanaan liberalisasi keuangan belakangan cenderung
disederhanakan menjadi masalah penahapan dalam pelaksanaannya, adanya bahaya
sistemik dalam pelaksanaan liberalisasi keuangan bagi negara-negara miskin tidak
dapat diabaikan.
Bahaya
Liberalisasi Keuangan
Liberalisasi keuangan
cenderung memicu meningkatnya instabilitas keuangan di negara-negara miskin. Menyebabkan
semakin menganganya kesenjangan ekonomi antarsektor, antarwilayah, dan
antargolongan pendapatan di negara-negara miskin. Menyebabkan semakin merosotnya
kemampuan negara dalam memelihara integritas dan kedaulatan bangsa.
Bahaya
Liberalisasi Perdagangan
Tujuan utama kebijakan yang mengarah pada
terselenggaranya sistem perdagangan bebas tersebut adalah untuk memacu semakin meningkatnya volume perdagangan antar
berbagai negara di dunia. Dengan meningkatnya volume perdagangan dunia, hal itu
diharapakan akan menjadi motor penggerak bagi percepatan pertumbuhan ekonomi
dunia secara berkelanjutan (Krugman dan Obstfeld, 2002).
Liberalisasi perdagangan
tidak hanya mengandung bahaya dalam lingkup ekonomi, melainkan mengandung
bahaya bagi ketahanan dan pertahanan nasional. Ideologi dan praktik perdagangan
bebas sesungguhnya harus dilihat sebagai ancaman serius terhadap kedaulatan
negara-negara miskin di dunia. Artinya liberalisasi perdagangan tidak hanya
mengandung bahaya dalam lingkup ekonomi, melainkan mengandung bahaya bagi
ketahanan dan pertahanan nasional negara-negara miskin secara menyeluruh.
Bahaya
Privatisasi BUMN
Sesuai dengan tuntutan
sistem ekonomi neoliberal, peranan negara dalam penyelenggaraan perekonomian
nasional harus dibatasi hanya sebagai pembuat dan pelaksanaan peraturan .
persoalannya, dengan meningkatnya peranan sektor swasta dalam penyelenggaraan
perekonomian naisonal, sejauh manakah independensi sektor negara dalam membuat
dan melaksanakan peraturan dapat dilindungi dari pengaruh dan tekanan
kepentingan sektor swasta ?.
Hal ini perlu mendapat
perhatian, sebab kehadiran para politisi di gelanggang kekuasaan pun
sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari kontribusi pendanaan yang berasal dari
sektor swasta. Artinya, jika peranan negara dalam membuat dan melaksanakan
peraturan tidak dapat dilindungi dari pengaruh dan tekanan kepentingan sektor swasta,
tentu tidak terlalu berlebihan bila privatisasi dapat pula diartikan sebagai
sebuah proses sistematis untuk memindahkan kedaulatan negara dari tangan rakyat
ke tangan segelintir pengusaha swasta.
Kecendrungan serupa bahkan
terjadi pula di negara-negara industri maju seperti Inggris dan AS. Sebab itu,
tidak terlalu berlebihan bila John Kenneth Gailbraith (1992), seorang ekonom AS
terkemuka, mengecam pelaksanaan privatisasi dengan sangat pedas. Sebagaimana dikemukakanny,
Privatisasi pelayanan sosial dan
perusahaan negara dimaksudkan untuk mengubah relasi kepemilikan dan sekaligus
distribusi kemakmuran dan kekuasaan politik menuju pemberdayaan besar-besaran
kaum kaya, perusahaan besar, dan para pemupuk rente, dengan mengorbankan “lapisan
bawah”.
Bahaya privatisasi bagi
negara-negara miskin dapat diringkas menjadi : 1). Privatisasi menyebabkan
berkurangnya kemampuan sebuah negara untuk melindungi kepentingan negara dan
rakyatnya; 2). Privatisas menyebabkan semakin tergantungnya pemerintahan
negara-negara miskin terhadap pengaruh dan kekuasaan sektor swasta; dan 3). Bila
privatisasi dilakukan kepada pemilik modal internasional, maka privatisasi
dapat merupakan jalan lurus menuju neokolonialisme (Baswir, 2003).
Dampak negatif globalisasi
sosial bagi negara-negara miskin, terutama mengemuka dala bentuk meningkatnya
dominasi para pemodal yang berasal dari negara-negara kaya tertentu terhadap
penguasaan faktor-faktor produksi dalam perekonomian negara-negara miskin yang
bersangkutan.
Tindakan yang harus
dilakukan oleh negara-negara miskin dalam menyikapi globalisasi dengan
sendirinya sudah terumuskan dengan jelas. Keberhasilan Cina, India, Brazil dan
Afrikan Selatan dalam menghentikan arogansi negara-negara kaya dalam sidang WTO
di Cancun, Mexico adalah sebuah momentum yang sangat tepat bagi negara-negara
miskin untuk maju ke depan dengan prinsip dan agenda-agenda ekonomi yang lebih
sesuai dengan kepentingan mayoritas rakyat mereka. Tanpa ditopang oleh keadilan
ekonomi dan fondasi integrasi sosial yang kuat, globalisasi atau
internasionalisasi hanya akan menjadi malapetaka bagi negara-negara miskin. Dengan
demikian akan menjadi malapetaka pula bagi umat manusia.
Untuk melanjutkan
upaya-upaya serupa itu, para pemimpin negara-negara miskin tentu perlu
membekali diri mereka dengan kemauan politik yang kuat. Bersamaan dengan itu,
merka juga dituntut untuk terus mendapatkan barisan dan mempererat hubungan
antarsesama negara-negara miskin se-dunia. Hanya bekal seperti itulah yang
dapat meningkatkan posisi tawar negara-negara miskin dihadapan oligarki
negara-negara kaya yang bermaksud menjajah dunia. Dilihat dari sisi sebaliknya,
hanya bekal seperti pulalah yang dapat mencegah para pemimpin negara-negara
kaya memang harus secepatnya dihentikan. Semakin cepat semakin baik.
(sumber : KEPEMIMPINAN NASIONAL, DEMOKRATISASI, DAN TANTANGAN
GLOBALISASI, Editor : Hamdan Basyar, Fredy BL. Tobing). 360 halaman )