Plus Minus

Rabu, 11 Januari 2012

blablalalalal

BAHAYA GLOBALISASI NEOLIBERAL BAGI NEGARA-NEGARA MISKIN
Oleh : Revrisond Baswir
Pendahuluan
Globalisasi adalah sebuah konsep berwajah banyak. Selain memiliki wajah geopolitik dan teknologi, ia juga memiliki wajah ekonomi dan budaya. Sepintas lalu, terutama bila dilihat dari sudut geopolitik dan teknologi, globalisasi tampak sangat masuk akal.
Sedangkan berkat kemajuan teknologi, terutama teknologi komunikasi, kendala ruang dan waktu kini relatif sudah bukan merupakan hambatan yang terlalu besar bagi umat manusia.
Persoalan muncul ketika globalisasi dilihat dari sudut ekonomi dan budaya. Secara ekonomi, walaupun globalisasi menjanjikan percepatan pertumbuhan ekonomi, pertanyaan mengenai siapa, mendapat apa, dan berapa banyak, serta-merta menyentakkan kita dari kekaguman yang berlebihan terhadap manfaat globalisasi. Globalisasi tampak seolah-olah merupakan jalan bebas hambatan bagi mereka untuk menguasai ekonomi dunia.
Dilihat dari sudut budaya, genomena dominasi ekonomi segelintir kaum berpunya tersebut tentu memiliki dampak yang sangat serius terhadap perkembangan kebudayaan di negara-negara dan masyarakat miskin di seluruh dunia.
Dengan demikia, bila dikaji secara cermat dan mendalam, secara ekonomi dan budaya, globalisasi tidak dapat begitu saja dipandang sebagai sebuah gejala alamiah yang netral. Ia sarat dengan kepentingan dan muslihat, khususnya yang mendatangkan keuntungan bagi para pemodal yang berasal dari negara-negara kaya tertentu.
Globalisasi dan Negara-negara Miskin
Dengan memahami globalisasi ekonomi sebagai pelaksana agenda-agenda ekonomi neoliberal sebagaimana dipaparkan tersebut, bahaya atau dampak negatif globalisasi bagi negara-negara miskin menjadi mudah untuk dipetakan. Secara umum dapat dikatakan bahwa globalisasi pada dasarnya adalah sebuah proses sistematis untuk merombak struktur perekonomian negara-negara miskin, terutama dalam bentuk pengerdilan peranan negara dan peningkatan peranan  pasar, sehingga memudahkan dilakukannya pengintegrasian dan pengendalian perekonomian negara-negara miskin tersebut di bawah penguasaan para pemodal yang berasal dari negara-negara kaya.
Dari pengertian umum tersebut, dapat disaksikan bahwa bahaya atau dampak negatif globalisasi bagi negara-negara miskin pada dasarnya terletak pada melemahnya kemampuan sebuah pemerintahan melindungi kepentingan negara dan rakyatnya, serta meningkatnya ketergantungan perekonomian negara-negara miskin tersebut terhadap pemenuhan kepentingan para pemodal international yang berasal dari negara-negara kaya tertentu. Dalam ungkapan teori ketergantungan, sebagai akibat dari globalisasi, maka perekonomian negara-negara miskin cenderung menjadi wilayah pinggiran bagi perekonomian negara-negara kaya yang berada di pusat.
Akibat meningkatnya ketergantungan ekonomi negara-negara miskin terhadap pemenuhan kepentingan para pemodal negara-negara kaya, maka peranan pemerintah dalam perekonomian negara-negara miskin cenderung berubah, yaitu dari melayani dan melindungi kepentingan rakyat menjadi melayani dan melindungi kepentingan para pemodal internasional yang ingin atau telah menanamkan modal mereka di negara-negara miskin yang bersangkutan. Pada tingkat yang lebih ekstrim, kebijakan ekonomi pemerintah negara-negara miskin justru secara terang-terangan mengambil posisi berlawanan dengan aspirasi dan kepentingan rakyat mereka sendiri.
Secara spesifik, bahaya atau dampak negatif globalisasi bagi negara-negara miskin dapat dipetakan dengan menguraikan bahaya atau dampak negatif pelaksanaan keempat agenda ekonomi neoliberal sebagaimana yang dikemukakan tadi :bahaya pengahapusan subsidi, bahaya liberalisasi sektor keuangan, bahaya liberalisasi perdagangan, dan bahaya privatisasi BUMN. Sebagaimana diuraikan dibawah ini, pelaksanaan keempat agenda ekonomi neoliberal tersebut hampir sepenuhnya didominasi oleh upaya untuk meningkatkan efisiensi. Sebaliknya, peningkatan keadilan ekonomi (equality), secara mikro, domestik, daninteransional, cenderung diabaikan.
Intinya, sebagai unsur dari agenda liberalisasi ekonomi yang bersifat menyeluruh, tujan akhir liberalisasi keuangan adalah untuk mempercepat integrasi perekonomian negara-negara sedang berkembang ke dalam sistem perekonomian pasar global berdasarkan kapitalisme. Dengan cakupan dan tujuan yang sangat mendasar tersebut, munculnya bahaya yang sangat besar di balik pelaksanaan liberalisasi keuangan belakangan cenderung disederhanakan menjadi masalah penahapan dalam pelaksanaannya, adanya bahaya sistemik dalam pelaksanaan liberalisasi keuangan bagi negara-negara miskin tidak dapat diabaikan.


Bahaya Liberalisasi Keuangan
Liberalisasi keuangan cenderung memicu meningkatnya instabilitas keuangan di negara-negara miskin. Menyebabkan semakin menganganya kesenjangan ekonomi antarsektor, antarwilayah, dan antargolongan pendapatan di negara-negara miskin. Menyebabkan semakin merosotnya kemampuan negara dalam memelihara integritas dan kedaulatan bangsa.
Bahaya Liberalisasi Perdagangan
 Tujuan utama kebijakan yang mengarah pada terselenggaranya sistem perdagangan bebas tersebut adalah untuk memacu  semakin meningkatnya volume perdagangan antar berbagai negara di dunia. Dengan meningkatnya volume perdagangan dunia, hal itu diharapakan akan menjadi motor penggerak bagi percepatan pertumbuhan ekonomi dunia secara berkelanjutan (Krugman dan Obstfeld, 2002).
Liberalisasi perdagangan tidak hanya mengandung bahaya dalam lingkup ekonomi, melainkan mengandung bahaya bagi ketahanan dan pertahanan nasional. Ideologi dan praktik perdagangan bebas sesungguhnya harus dilihat sebagai ancaman serius terhadap kedaulatan negara-negara miskin di dunia. Artinya liberalisasi perdagangan tidak hanya mengandung bahaya dalam lingkup ekonomi, melainkan mengandung bahaya bagi ketahanan dan pertahanan nasional negara-negara miskin secara menyeluruh.
Bahaya Privatisasi BUMN
Sesuai dengan tuntutan sistem ekonomi neoliberal, peranan negara dalam penyelenggaraan perekonomian nasional harus dibatasi hanya sebagai pembuat dan pelaksanaan peraturan . persoalannya, dengan meningkatnya peranan sektor swasta dalam penyelenggaraan perekonomian naisonal, sejauh manakah independensi sektor negara dalam membuat dan melaksanakan peraturan dapat dilindungi dari pengaruh dan tekanan kepentingan sektor swasta ?.
Hal ini perlu mendapat perhatian, sebab kehadiran para politisi di gelanggang kekuasaan pun sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari kontribusi pendanaan yang berasal dari sektor swasta. Artinya, jika peranan negara dalam membuat dan melaksanakan peraturan tidak dapat dilindungi dari pengaruh dan tekanan kepentingan sektor swasta, tentu tidak terlalu berlebihan bila privatisasi dapat pula diartikan sebagai sebuah proses sistematis untuk memindahkan kedaulatan negara dari tangan rakyat ke tangan segelintir pengusaha swasta.
Kecendrungan serupa bahkan terjadi pula di negara-negara industri maju seperti Inggris dan AS. Sebab itu, tidak terlalu berlebihan bila John Kenneth Gailbraith (1992), seorang ekonom AS terkemuka, mengecam pelaksanaan privatisasi dengan sangat pedas. Sebagaimana dikemukakanny, Privatisasi pelayanan sosial dan perusahaan negara dimaksudkan untuk mengubah relasi kepemilikan dan sekaligus distribusi kemakmuran dan kekuasaan politik menuju pemberdayaan besar-besaran kaum kaya, perusahaan besar, dan para pemupuk rente, dengan mengorbankan “lapisan bawah”.
Bahaya privatisasi bagi negara-negara miskin dapat diringkas menjadi : 1). Privatisasi menyebabkan berkurangnya kemampuan sebuah negara untuk melindungi kepentingan negara dan rakyatnya; 2). Privatisas menyebabkan semakin tergantungnya pemerintahan negara-negara miskin terhadap pengaruh dan kekuasaan sektor swasta; dan 3). Bila privatisasi dilakukan kepada pemilik modal internasional, maka privatisasi dapat merupakan jalan lurus menuju neokolonialisme (Baswir, 2003).
Dampak negatif globalisasi sosial bagi negara-negara miskin, terutama mengemuka dala bentuk meningkatnya dominasi para pemodal yang berasal dari negara-negara kaya tertentu terhadap penguasaan faktor-faktor produksi dalam perekonomian negara-negara miskin yang bersangkutan.
Tindakan yang harus dilakukan oleh negara-negara miskin dalam menyikapi globalisasi dengan sendirinya sudah terumuskan dengan jelas. Keberhasilan Cina, India, Brazil dan Afrikan Selatan dalam menghentikan arogansi negara-negara kaya dalam sidang WTO di Cancun, Mexico adalah sebuah momentum yang sangat tepat bagi negara-negara miskin untuk maju ke depan dengan prinsip dan agenda-agenda ekonomi yang lebih sesuai dengan kepentingan mayoritas rakyat mereka. Tanpa ditopang oleh keadilan ekonomi dan fondasi integrasi sosial yang kuat, globalisasi atau internasionalisasi hanya akan menjadi malapetaka bagi negara-negara miskin. Dengan demikian akan menjadi malapetaka pula bagi umat manusia.
Untuk melanjutkan upaya-upaya serupa itu, para pemimpin negara-negara miskin tentu perlu membekali diri mereka dengan kemauan politik yang kuat. Bersamaan dengan itu, merka juga dituntut untuk terus mendapatkan barisan dan mempererat hubungan antarsesama negara-negara miskin se-dunia. Hanya bekal seperti itulah yang dapat meningkatkan posisi tawar negara-negara miskin dihadapan oligarki negara-negara kaya yang bermaksud menjajah dunia. Dilihat dari sisi sebaliknya, hanya bekal seperti pulalah yang dapat mencegah para pemimpin negara-negara kaya memang harus secepatnya dihentikan. Semakin cepat semakin baik. 
(sumber : KEPEMIMPINAN NASIONAL, DEMOKRATISASI, DAN TANTANGAN GLOBALISASI, Editor : Hamdan Basyar, Fredy BL. Tobing). 360 halaman )